Masih Mau Keluar dari Muhammadiyah?

- Minggu, 10 Juli 2022 | 20:43 WIB
Barzan, di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. (Dok Istimewa)
Barzan, di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. (Dok Istimewa)

 

 

(Catatan dari Yogya)

Oleh: Anang S. Otoluwa

BARZAN, anak saya yang ketiga (bungsu), beberapa waktu lalu melemparkan pernyataan yang bisa bikin kaget warga Muhammadiyah.

"Pa, papa masih ketua Muhammadiyah?", tanyanya. Belum sempat saya jawab, dia langsung menambahkan dengan pernyataan. "Mulai sekarang Barzan mau keluar dari Muhammadiyah".

Mendengar pernyataan kontroversialnya ini saya cuma senyum-senyum. Maklum, isu mau keluar dari Muhammadiyah ini sudah beberapa kali dia lontarkan. Ada dua peristiwa berkaitan yang  memicu niatnya itu.

Pertama, saat makan sahur di bulan puasa lalu. Waktu itu, makanannya belum habis. Tapi karena azan Subuh sudah terdengar dari masjid terdekat, serta merta dia menghentikan makan sahurnya. Melihat itu saya menegurnya. Saya bilang masih boleh makan terus sampai 8 menit lagi. Tapi Barzan kontan menolak. Alasannya, menurut ustaznya di sekolah, kalau sudah azan Subuh maka sahur harus dihentikan.

Demi mendengar argumennya itu saya berusaha memberikan penjelasan tambahan. Menurut Muhammadiyah, waktu azan Subuh di Indonesia lebih cepat 8 menit dari perhitungan versi Muhammadiyah.

Baca Juga: PHBI Lakukan Penyembelihan Hewan Kurban, Dua Di Antaranya Berasal dari Bupati dan Wabup Banggai

Tapi, entah karena memang lagi malas makan (apalagi sahur) atau karena memegang teguh ajaran gurunya dia jadi agak emosional menanggapi pendapat saya. Sambil mendorong piring makannya, dengan suara yang meninggi dia mengomel: "Akh, kalau begitu Barzan tidak ikut Muhammadiyah".

Spontan Oma, ibunya,  dan saya tertawa mendengar statemennya itu. Saya tentu belum bisa menjelaskan kepadanya alasan Muhammadiyah soal datangnya waktu Subuh yang lebih lambat itu. Demikian juga asal usul dua derajat yang membuatnya berselisih delapan menit. Sambil berkelakar saya hanya bisa menggertaknya. "Eee, papa ini ketua Muhammadiyah. Jadi Barzan harus juga ikut Muhammadiyah".

Kedua, kejadiannya sebenarnya sudah lebih dulu. Bermula dari sholat Idul Fitri dua tahun lalu yang terpaksa kami lakukan di rumah karena pandemi Covid 19. Saat memimpin takbir, saya membaca Allahu Akbar hanya dua kali. Mungkin karena menurut Barzan ini tidak lazim, maka dia langsung protes. "Pa, Allahu Akbar tiga kali. Kenapa papa punya cuma dua kali?". Saya menjawabnya pendek: "Ini takbir menurut Muhammadiyah".

Sudah pasti Barzan keberatan mendengarnya. Tapi kami tidak mau ribut. Diam-diam kami bersikukuh dengan pendapat masing-masing. Setiap saya habis bertakbir dengan membaca Allahu Akbar dua kali, Barzan mengikutinya dengan tetap membaca tiga kali.

Halaman:

Editor: Haris Ladici

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Apa yang Tak Ada di Banggai?

Jumat, 17 Maret 2023 | 13:12 WIB

Komedi Talkshow Indeks Literasi

Selasa, 14 Maret 2023 | 09:00 WIB

Tak Ada yang Wah dari RKPD 2024 Kabupaten Banggai

Kamis, 12 Januari 2023 | 19:48 WIB

Argentina, Messi, Porprov dan Atlet Kita

Selasa, 20 Desember 2022 | 23:34 WIB

Menuju Narasi Ketujuh Festival Sastra Banggai 2023

Rabu, 30 November 2022 | 08:29 WIB

Sebuah Antitesa Stick Carrot!

Sabtu, 5 November 2022 | 16:11 WIB

Lin Yi-han dan Pentingnya Isu Kesehatan Mental

Selasa, 1 November 2022 | 22:50 WIB

Teka Teki Kehidupan

Minggu, 16 Oktober 2022 | 17:40 WIB

Mengapa Urusan Ekonomi Kabupaten Banggai Acakadut

Selasa, 20 September 2022 | 11:33 WIB

Cukup Dinas Pariwisata Saja

Kamis, 1 September 2022 | 08:00 WIB

Mencari Makna di Festival Teluk Lalong

Rabu, 31 Agustus 2022 | 08:00 WIB

Masih Mau Keluar dari Muhammadiyah?

Minggu, 10 Juli 2022 | 20:43 WIB
X