(Catatan dari Yogya)
Oleh: Anang S. Otoluwa
BARZAN, anak saya yang ketiga (bungsu), beberapa waktu lalu melemparkan pernyataan yang bisa bikin kaget warga Muhammadiyah.
"Pa, papa masih ketua Muhammadiyah?", tanyanya. Belum sempat saya jawab, dia langsung menambahkan dengan pernyataan. "Mulai sekarang Barzan mau keluar dari Muhammadiyah".
Mendengar pernyataan kontroversialnya ini saya cuma senyum-senyum. Maklum, isu mau keluar dari Muhammadiyah ini sudah beberapa kali dia lontarkan. Ada dua peristiwa berkaitan yang memicu niatnya itu.
Pertama, saat makan sahur di bulan puasa lalu. Waktu itu, makanannya belum habis. Tapi karena azan Subuh sudah terdengar dari masjid terdekat, serta merta dia menghentikan makan sahurnya. Melihat itu saya menegurnya. Saya bilang masih boleh makan terus sampai 8 menit lagi. Tapi Barzan kontan menolak. Alasannya, menurut ustaznya di sekolah, kalau sudah azan Subuh maka sahur harus dihentikan.
Demi mendengar argumennya itu saya berusaha memberikan penjelasan tambahan. Menurut Muhammadiyah, waktu azan Subuh di Indonesia lebih cepat 8 menit dari perhitungan versi Muhammadiyah.
Baca Juga: PHBI Lakukan Penyembelihan Hewan Kurban, Dua Di Antaranya Berasal dari Bupati dan Wabup Banggai
Tapi, entah karena memang lagi malas makan (apalagi sahur) atau karena memegang teguh ajaran gurunya dia jadi agak emosional menanggapi pendapat saya. Sambil mendorong piring makannya, dengan suara yang meninggi dia mengomel: "Akh, kalau begitu Barzan tidak ikut Muhammadiyah".
Spontan Oma, ibunya, dan saya tertawa mendengar statemennya itu. Saya tentu belum bisa menjelaskan kepadanya alasan Muhammadiyah soal datangnya waktu Subuh yang lebih lambat itu. Demikian juga asal usul dua derajat yang membuatnya berselisih delapan menit. Sambil berkelakar saya hanya bisa menggertaknya. "Eee, papa ini ketua Muhammadiyah. Jadi Barzan harus juga ikut Muhammadiyah".
Kedua, kejadiannya sebenarnya sudah lebih dulu. Bermula dari sholat Idul Fitri dua tahun lalu yang terpaksa kami lakukan di rumah karena pandemi Covid 19. Saat memimpin takbir, saya membaca Allahu Akbar hanya dua kali. Mungkin karena menurut Barzan ini tidak lazim, maka dia langsung protes. "Pa, Allahu Akbar tiga kali. Kenapa papa punya cuma dua kali?". Saya menjawabnya pendek: "Ini takbir menurut Muhammadiyah".
Sudah pasti Barzan keberatan mendengarnya. Tapi kami tidak mau ribut. Diam-diam kami bersikukuh dengan pendapat masing-masing. Setiap saya habis bertakbir dengan membaca Allahu Akbar dua kali, Barzan mengikutinya dengan tetap membaca tiga kali.
Artikel Terkait
Pasien Dirawat di Ruang Isolasi COVID-19, dr Anang: hanya Pinjam Ruangan
100 Hari Kerja Bupati Banggai, Rilis Humas dan Kominfo masih Seputar Gowes, Ucapan hingga Upacara Virtual
Anggota Polri Penembak Warga di 168 House, Pidana Umum atau Pembelaan dalam Tugas?
Warga Luwuk Masih Antusias Lakukan Vaksinasi Covid-19, Kadinkes Banggai: Capaian Dosis Pertama 87,7 Persen
Tausiah Ramadan di Masjid Agung Luwuk, Dokter Anang Mengulas Anugerah Puasa untuk Kesehatan
Risiko Kesehatan Di Tempat Kerja
Salat Iduladha 1443 Hijriah di Pelataran UMLB, Berikut Materi Khutbah Dr Farid Haluti